Salah satu hal yang diketahui peneliti tentang Alzheimer, yang berhasil menjangkiti hampir 50 juta orang di seluruh dunia, adalah penyakit ini menghasilkan protein beracun yang disebut amyloid beta. Protein ini bisa dideteksi dengan melakukan pemindaian pada otak atau menganalisis cairan serebrospinal, tetapi kedua cara itu terlalu mahal dan tidak praktis untuk pemeriksaan berskala besar.
Profesor Colin Masters pada University of Melbourne, Australia membuat terobosan mengenai tes terhadap Alzheimer. Tes ini menggunakan plasma darah yang disiapkan secara khusus dan magnet yang kuat. Tes ini dilakukan pada sampel darah dari 252 pengidap Alzheimer di Australia dan 121 di Jepang, usia 60 sampai 90 tahun, tes darah itu terbukti hampir 90 persen akurat. Beberapa perusahaan besar biofarmasi di seluruh dunia menyatakan minat mereka pada tes baru itu, namun memerlukan evaluasi lebih lanjut sebelum diperkirakan uji klinis. Peneliti percaya mereka semakin dekat dengan pengembangan tes darah yang dapat mendiagnosa penyakit Alzheimer.
Saat ini, belum ada tes definitif untuk Alzheimer dan dokter bergantung pada tes kognisi dan scan otak.Sebuah riset yang diterbitkan dalam jurnal Genome Biology menunjukkan perbedaan dalam fragmen kecil, dari material genetik yang mengambang dalam darah, dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien. Tes ini akurat pada 93% dalam percobaan pada 202 orang.
Tim dari Saarland University, di Jerman, menganalisa 140 microRNA (fragmen kode genetis) pada pasien dengan penyakit Alzheimer dan orang sehat. Mereka menemukan 12 microRNAs dalam darah pada pasien Alzheimer memiliki tanda yang berbeda. Inilah menjadi landasan penelitian mereka. Uji coba awal ini berhasil dan "mampu membedakan dengan akurasi diagnostik tinggi antara pasien penyakit Alzheimer dan orang sehat". Namun, penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk meningkatkan akurasi dan apakah memungkinkan untuk diterapkan di klinik.
Para peneliti di seluruh dunia terus mencari cara untuk mendeteksi penyakit Alzheimer sedini mungkin. Alasannya, semakin cepat penyakit terdeteksi, semakin cepat seseorang bisa mencari bantuan medis untuk memperlambat efek dari penyakit tersebut atau mengurus masalah finansial dan legal mereka.
Sebagian peneliti fokus pada tes cairan di otak dan tulang punggung atau pada darah. Sementara sebagian peneliti lain mengembangkan perangkat untuk mendeteksi tanda-tanda Alzheimer sejak dini. Namun, sebuah tim peneliti dari University of Bari di Italia percaya, kunci mendeteksi penyakit Alzheimer adalah pada kecerdasan buatan.
Para peneliti itu mengembangkan algoritma yang bisa mendeteksi perubahan kecil di struktur otak yang disebabkan oleh penyakit Alzheimer satu dekade sebelum gejala penyakit itu muncul. Mereka melatih kecerdasan buatan mereka dengan memasukkan data berupa 67 MRI scan. Sebanyak 38 di antaranya merupakan hasil pindaian dari pengidap Alzheimer dan 29 sisanya adalah pindaian orang sehat. Para peneliti kemudian membagi hasil scan ini ke bagian-bagian kecil dan membiarkan AI mereka menganalisa jaringan syaraf tersebut. Setelah AI selesai dilatih, mereka kemudian menguji algoritma tersebut dengan membiarkannya memproses hasil scan otak dari 148 orang.
Sebanyak 49 merupakan hasil scan dari orang yang mengidap Alzheimer, sementara 48 hasil scan lainnya merupakan hasl pindaian dari orang-orang yang memiliki masalah kognitif kecil dan akan berkembang menjadi Alzheimer. AI buatan para peneliti ini berhasil mendiagnosa Alzheimer dengan tingkat akurasi 86 persen. Satu hal yang lebih menarik, ia berhasil mendeteksi pelemahan fungsi kognitif minor dengan tingkat akurasi 84 persen. Itu artinya, AI ini bisa digunakan untuk melakukan deteksi dini Alzheimer.
Sayangnya, sampel yang para peneliti gunakan masih terbatas. Jika AI ini dilatih dengan lebih banyak contoh, maka ia bisa menjadi lebih akurat dan digunakan sebagai sistem deteksi non-invasif.
0 Komentar